One Last Time

an idea: you are a bulletproof girl. Amanda Beth is a common girl, like many common girls. She's being loved by everyone and being hate by some people, too. Amanda is a high school girl with even lower average skills. We have to admit not everyone's smart and not everyone have to be good. So, Amanda gets into a genk, so tho she's stupid, she is saved, not being in bully around the school. She's one of the bully. But, that's not her. Whenever her bad friends are leaving her alone, she's trying to be friend with the bullied ones. She's helping the victims like in ninja ways. As I told you before, she's being loved by everyone, too, right? Amanda is helping them with spreading good things about them rather than against her own friends when the bullying's around. She's doing that for win-win solution and seriously, no ones really feel bad about it. Everyone needs her, but inside of Amanda, she thinks herself as a coward. who thinks
Do you know why it's hard to say goodbye? Because we afraid if our memories might not be able to remember them, rightly. The fact is, goodbye means good. No matter how hard.
~Aurora Esterlia

The Accident

      Ketika kau terbangun dari mimpi indahmu dan yang kau harapkan mimpimu bukannya berhenti begitu saja namun ia merupakan kenyataan dalam hidupmu, maka apa yang terjadi pastinya adalah kebahagiaan terbesar yang tidak terlukis dengan kata-kata bahkan tangisan air mata sekalipun. Namun, tidak selamanya mimpi ku menjadi kenyataan. 
       "Honey... wake up..." Aku dapat mendengar suara memanggilku. Seluruh kesadaranku cukup pulih untuk merasakan badan, tangan, dan kakiku kembali. Mataku yang masih tertutup mulai menyadari sinar di sekelilingku. Aku mencoba membuka mataku perlahan-lahan. Pandanganku begitu silau dengan terangnya sinar matahari yang masuk dari jendela yang terbuka tirainya. Telingaku begitu bising dengan suara-suara yang begitu banyak dan riuh. "Dia bangun! Terimakasih, Tuhan!" Aku mendengar suara itu lagi. Aku dapat melihat ruangan di sekitarku berwarna putih, dan terdapat beberapa bayangan orang mengelilingiku. "Honey...baby...
         "Mom..." Aku melihatnya sedang duduk di sebelah ranjangku dan tangannya membelai kepalaku. "Mengapa kau menangis?" Wajahnya begitu lusuh dan basah.  Aku melihat disekelilingnya. Paman Alex, Bibi Morris, Papa, dan Dane. "Mengapa aku ada... di rumah sakit?"
         "It's okay. Everything is going to be alright." ucap Dane. Ia juga menangis. "Kukira kau tidak akan pernah bangun. Aku sangat khawatir." 
         "Ada apa, Dane?" tanyaku. Aku melihat badanku penuh dengan balutan dan lebam. Aku mencoba mengingat hal terakhir yang kuingat sebelum aku berada di rumah sakit. Aku ingat aku sedang berada di pesta. Pesta pernikahan seseorang. Aku lupa. Mom, Papa, dan Dane ada di sana. Kami berangkat bersama. Aku duduk di bangku depan dengan Papa mengendarai mobil. Pernikahan seseorang. Di pelabuhan. Aku ingat, pernikahan yang akan dilanjuti pesta di atas kapal yacht. 
         "Apakah kita baru saja dari pernikahan..."
         "Ya, my dear. Apa kamu sudah mengingatnya?" tanya Mom. 
         "Kurasa... apa yang terjadi?"
         "Kau berada di atas yacht, nak." Jawab Papa. "Kau mencoba menolongnya tapi tidak berhasil."
         "Apa yang tidak berhasil, Paps?" tanyaku. Aku mencoba mengingat apakah diriku sudah naik ke atas yacht atau belum. Aku tidak begitu ingat. Tiba-tiba Dane terisak menangis. "Dane?" Ia semakin terisak. "Hey, mengapa kamu menangis?" Tanganku tidak bisa bergerak karena tangan kiriku bersatu dengan infus dan tangan kananku digips mengalungi bahuku. 
          "Aku tidak kuat, maaf." suara Dane meninggi bersama dengan cepat suara sepatu haknya yang segera berlari keluar ruangan kamar. 
         "Apakah pernikahannya sudah selesai?" tanyaku. Aku dapat melihat mereka tidak lagi memakai pakaian pesta mereka. 
         "Kemarin, nak." ucap Paman Alex. "Dan pernikahan itu tidak pernah selesai." Ia menunjukkan raut wajah yang suram. Ia menunduk lalu segera pergi menjauh dari ranjang. Aku tidak mengerti.
         "Yang paling penting," Bibi Morris berdiri di belakang kursi Mom dan ia meraih tangan kiriku yang ada di atas ranjang, "Kau selamat, nak. Kami bersyukur." senyumnya. "Banyak yang meninggal hari kemarin, dan kami tidak mengira kau berada di atas yacht juga."
        "Apa? Banyak yang meninggal?" Aku mendengarnya langsung merasa bulu kudukku berdiri. "Apa yang terjadi....Oh, no." Tiba-tiba kepalaku terasa pusing, aku teringat bagaimana telingaku mendapat serangan suara yang sangat besar dan guncangan yang sangat kuat hingga aku tidak lagi merasakan telingaku sendiri. Aku mengingat ada ledakan tepat di depanku. Aku berdiri di beranda kapal. Dan, ledakan itu berasal dari dalam ruangan kapten kapal, dimana ada seseorang disana, memegang setiran kapal, melihatku memandanginya. Aku ingat bagaimana ledakan itu dengan cepat mengeluarkan semburan api dan melahapnya dari belakang dan dinding kaca yang mengitarinya pecah dan seperti hujan menerjang seluruh beranda kapal. "Aku teringat ada ledakan berasal dari ruangan kendali utama kapal."
         "Kamu tahu sesuatu, nak?" tanya Paman Alex. Aku memandangnya. "Apa kamu melihat seseorang disana atau sesuatu yang mengganjal?"
            "Aku tidak tahu." ucapku. "Aku berada di beranda tepat di depan ruangan tersebut dan ketika aku berbalik, ledakan itu tiba-tiba saja datang, Paman." Aku dapat melihat Mom dan Bibi Morris berpegangan seakan mereka begitu terpukul hanya dengan mendengar ceritaku. 
           "Mengapa pernikahan yang indah dapat berakhir dengan menyedihkan seperti ini?" ucap Mom dan ia menangis lagi. "Kasihan, Jack. Ini pasti berat bagimu, nak." 
          "Siapa...yang meninggal?" tanyaku. Mereka semua terdiam. Saling berpandangan, kecuali Mom yang semakin mendalami tangisannya. 
          "Teman-temanmu." Ucap Paman Alex. "Mereka tidak ada yang selamat. Maafkan, aku, Jack." 
         Aku mencoba mengingat. Setelah perayaan kebaktian pernikahan, kami semua mengikuti acara pesta. Aku, Bones, Frank, Kate, dan Ashley... "Oh, tidak. Tidak mungkin, Paman." Ucapku kaget, "Mereka tidak datang ke pesta pernikahan kemarin, Paman." 
         "Apa?" tanyanya.
         "Ya, aku sendirian di beranda itu." ucapku, "Aku baru saja video call dengan mereka semua, dan mereka sedang berada di Jerman, di rumah orang tua Frank." 
         "Tapi, kami yakin, nak, itu mereka." balas Paman Alex. Ia kemudian memandang Papa. "Mungkin lebih baik aku mencoba menanyakan soal telepon nya."
         "Ya, sure." Ucap Papa. Paman Alex segera mengeluarkan handphone nya dan ia keluar ruangan. "Bones, Frank, Kate, dan Ashley. Teman-temanmu, kau yakin mereka ada di Jerman?" tanyanya. Aku sendiri menjadi tidak yakin dibuatnya. "Jack, apa kamu dapat memberitahuku mengapa kau dan teman-teman mu berada di atas yacht?"
        "Apa?" Aku bingung.
        "Bukankah kau bilang, kau ingin pergi sebentar, teman-teman mu menunggu mu di suatu tempat, kami tidak tahu kalau ternyata yang kau maksud adalah di yacht. Bukankah kau sendiri yang bilang, nak, kalau mereka datang?" ucapnya.
       "He's right, Paul." Paman Alex masuk kembali ke dalam ruangan. "Mereka menelepon kembali terakhir Jack menelepon, dan Frank mengangkatnya. Mereka semua sedang memancing di suatu danau." Ia kembali memasukkan handphone nya ke dalam jas. 
        "Lalu siapa yang meninggal?" tanya Papa pada Paman. Mereka berdua memandangku. "Kau berbohong, nak?"
        "My lies...yeah, it was an accident. Aku bosan dengan pernikahan kemarin. Aku mencoba menikmati... pemandangan di yacht?" 
Kami mendengar suara hentakan sepatu heels yang cepat masuk ke dalam ruangan. Dane berlari ke dalam ruangan, "Bones not death?" tanyanya kencang. "Kate and Ashley, too?" Ia semakin menangis. "I'm so relieved." Ia mendatangi Bibi Morris, dan mereka berpelukan. 
         "Kami menemukan tiga mayat laki-laki dan dua mayat perempuan. Kami tidak tahu mereka siapa. Kami mencoba mencek tamu yang hilang, tapi hanya kau, nak." ucap Paman Alex. "Kurasa cuma kau yang hilang." 
          "Bagaimana kalian bisa sebodoh itu mencek identitas mayat bisa salah?" tanya Mom. "Itu membunuhku perlahan, kau tahu?" Ia terlihat begitu marah pada Paman Alex dan Papa. Tapi aku dapat melihat kelegaan di raut wajahnya. "Honey, baby..." Ia kembali padaku, "Mengapa kamu bisa berada di atas yacht sendirian, sayang? Kau dapat mencelakai dirimu sendiri. Kau tahu."
         "Aku tidak tahu, Mom. Kalau yacht itu akan meledak." 
         "I know!" serunya. "I know!" Ia segera memelukku dan mencium keningku. "I love you, Jack! Please don't die before me!" Ia segera berdiri dan tersenyum, "Aku benar-benar lapar. Morris, temani aku ke kantin rumah sakit." Aku tahu Mom jarang menunjukkan senyumannya. Aku sedikit tersenyum pada diriku sendiri. Ia pergi dengan cepat bersama Bibi Morris.
         "Dia begitu khawatir padamu, Jack." Dane berganti duduk di kursi. "Dia yang menemanimu semalaman." Aku hanya memandangi Dane, dan aku tahu dia sepertinya juga ikut menemaniku semalaman di rumah sakit. 
         "Aku sendirian naik ke yacht. Aku tidak tahu ada orang di dalamnya. Maafkan aku, guys." 
        "Tiga orang pelayan sedang berada di pinggir dermaga dan mereka melihat kejadian ledakan itu, nak. Apa yang kau katakan benar. Ledakan itu berasal dari ruang kapten. Lalu, kau berdiri sendirian di atas beranda kapal. Ledakan itu membuatmu terpelanting dari beranda dan jatuh ke dalam air."  Papa menjelaskan. "Ya, kami tahu kau sendirian, nak."
       "Tapi, apa kau yakin tidak ada orang lain di atas kapal?" tanya Papa.
       "Maafkan aku, Paman. Aku benar-benar tidak tahu." balasku, "But, Papa bilang tadi, aku tidak berhasil menyelamatkannya. Siapa yang Papa maksud?"Aku tersadar aku melewati perkataanyaan tadi. "Aku di sana tidak menyelamatkan siapapun, Papa. Aku benar-benar seperti sneaking around... apa ada korban yang kukenal? Siapa, siapa yang meninggal?" 
        "Aku tidak ingin membicarakannya kalau begitu, Jack." ucapnya.
        "Apa maksudmu adalah Bones, Frank, Kate, dan Ashley?"
        "Bukan, nak." Wajahnya menunjukkan kekecewaan, "Bukan apa-apa."
        "Tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan. Kalian mengira mereka ada di antara mereka, dan satu lagi.... siapa lelaki yang meninggal, Papa?"
        "Ini hanya kecelakaan, kurasa, Jack. Kau tidak usah mengambil pusing, alright?" Paman Alex menyela perbincangan kami. "Kurasa ada baiknya kau beristirahat dan lupakan yang terjadi kemarin. Tidak ada relasi kita atau siapapun di pernikahan itu yang meninggal.....kurasa. Ada baiknya, aku dengan ayahmu pergi ke kantor polisi untuk kembali mencek semuanya itu." 
          Aku mencoba untuk melanjutkan pertanyaan ku. Ada yang aneh di perbincangan Papa dan Paman Alex. Tapi Paman Alex menunjukkan sinyal untuk berhenti bertanya. Ia memegang bahu Papa dan membawanya pergi. Aku dapat melihat raut Papa yang sesekali menengok ke belakang, melihatku seakan merasa bersalah. Mereka berdua pergi. Hanya aku dan Dane.
          "Dane... kau tahu apa yang mereka rahasiakan, bukan?" Aku menatap Dane. Dane memandangku. "Dane, kau tahu sesuatu."
          "Aku tahu apa, Jack?" tanyanya. "Ini benar-benar keadaan yang kami semua tidak pernah membayangkannya. Ledakan di yacht? Ada korban meninggal, kau salah satunya dan selamat? Apalagi yang kami dapat pikirkan selain itu?" 
         "Pernikahan...." Aku terhenti sebentar mengingat apa yang ingin kukatakan, "...right, bagaimana pernikahan Karina dan Tim?" 
           " Karina meninggal, Jack." Ia mengatakannya. "Aku benar-benar tidak bisa menyimpan rahasia ini darimu. Mereka semua tidak tahu hal ini. Semua terjadi begitu saja." Dane memutarkan matanya dan bahunya bergerak naik sesaat, "Aku tidak tahu kau berada di atas yacht juga. Dan, aku bersyukur," ia menunjukkan senyumannya, "Kau berada di beranda kapal. Ketika bom itu meledak, kau terlempar ke laut, dan semua yang ada di atas kapal tidak ada yang selamat. Well, what Papa said about that before... Pernikahan yang tak akan pernah ia inginkan." 
         Aku tak mengerti melihat raut muka Dane. "How's Tim?" aku berusaha mengeluarkan suaraku. 
        "Tim's fine." Ia mengelap pipinya yang basah dengan tangannya, "You see this crying?" Aku melihatnya. Aku berusaha tidak memikirkan apa yang ia akan jelaskan, "Ini airmata kebahagiaan ku bahwa Tim dan kau selamat. Aku tidak dapat memikirkan kalian berdua pergi meninggalkan ku." Ia memegang tanganku dan meremasnya, seperti yang dilakukan Bibi Morris tadi. 
         "Apa yang mereka tahu tentang kecelakaan itu, Dane?" tanyaku.
         "What..." Ia memandangiku seakan pertanyaan ku tidak masuk akal buatnya, "Apa yang bisa kuceritakan pada mereka, Jack?" Aku memelototinya, "Baiklah. Mereka tidak dapat mengidentifikasi mayat korban. Tentu saja, mereka semua hangus dan sebagian badan mereka kebanyakan telah menjadi debu. Aku tidak mengerti, tapi mereka termakan dengan ceritamu kalau Bones, Frank, Kate, dan Ashley datang. Satu wanita dan dua pria adalah pelayan yacht. Siapa peduli dengan satu orang lelaki lain. Ketika pesta dansa dimulai, kau tahu, ketika kau pergi, Karina melihatmu dan ia seperti permisi keluar acara untuk pergi entah kemana. Papa tahu hubungan kalian berdua."
          "Dane..."
Dalam mimpi panjang ku, aku melihat Karina dan aku menikah. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Tim, tapi ia juga terlihat bahagia disana. Aku dan Karina berdansa, Tim, Bones, Frank, Kate, dan Ashley, Papa, Mom, semua ada di sana, dan Dane. 
         "Semua mengira Karina pergi lari bersama mu, tapi ternyata tidak...." Ia memberikan senyumnya, "Tim tidak akan membencimu, Jack." 
         "What have you done?" tanyaku pada akhirnya. Semua terasa jelas di telingaku dan bulu kudukku kembali merinding. Dane, adikku sendiri.
           "Aku mendatanginya di dalam rumah, dekat toilet, dan semua terjadi begitu saja. It's just an accident, Jack. Berkat kau, aku hanya tinggal memainkan peranku. Thank you."

Comments

Popular posts from this blog

One Last Time

Odd Affection

the Better