Lost Sight, Found Strength

The path is so dark and dim, but Julie keeps walking. She is scared, yet her adrenaline makes her look back several times, urging her to walk faster with each step. She wonders why she can't move faster and then realizes it's just her thoughts getting wilder the longer she's on the road. She shouldn't have chosen this path—terrified and confused. She's already halfway through. It sucks. The only way is to adapt, over time. She has one more block, two more, and again she convinces herself it's just one more step to her destination. She's no longer afraid when she starts looking at the sky instead of the road. The evening feels scarier when it's right in front of our eyes, but when it's above, the stars are beautiful. The cold air on her skin feels warmer as her mind grows calmer. Gently, she realizes that she's no longer worried. In fact, she's arrived, in no time. -- I think loneliness comes from the mind. It's not about being surrounded ...
Do you know why it's hard to say goodbye? Because we afraid if our memories might not be able to remember them, rightly. The fact is, goodbye means good. No matter how hard.
~Aurora Esterlia

They are My Friends

     "Kau tahu aku sedang bermain gitar, Rose." Aku tersenyum padanya. Ia hanya berdiri di depan jendela kamarku yang terbuka. Rambut panjang nya terus berhembus ditiup angin yang masuk. "Mengapa warna rambutmu diwarnai merah, kali ini?"
     "Akhirnya kau menanyakannya." Ia tertawa dan segera mendatangi tempat tidur. Dengan cepat ia melempar dirinya ke kasur. Aku dan gitarku sedikit berguncang. "Aku tertarik dengan apa yang kuminum. Apa mereka seindah bila rambutku berwarna sama?" 
     "Ya, mereka terlihat yummy." jawabku. 
     "Aku tahu, right?" Ia memainkan helaian rambutnya dengan tangannya. "Aku tidak pernah merasa ingin sekali menggigiti rambutku sendiri." Aku terkaget mendengarnya. Ia melihat wajahku, "Aku bercanda." Ia terkikih-kikih. 
     "Aku mencoba membayangkannya, Rose..."Aku benar-benar membayangkannya, "Kau tidak segila itu, kan?"
        "Aku tidak percaya kau membayangkannya! Itu hal terbodoh yang pernah kau lakukan bulan ini." 
      "Maaf." Aku kembali tersenyum. "Sekarang bolehkah aku memainkan gitarku?"
     "Tentu." Ia kembali berdiri. Aku mencoba menikmati ritme yang kuingat dari lagu mp3. "Kau tahu malam ini hari pertama setelah bulan purnama, bukan?" Aku dapat merasakan Rose berjalan kembali mendekat ke jendela.
     "Aku tidak tahu. Kemarin... aku lupa apa yang kulakukan." Aku berhenti bermain. "Rose?"
     "Apa?" Ia tetap membelakangiku. "Aku tidak melakukan apapun." ucapnya. Ia kembali meminum apa yang ada di gelasnya. "Kau menambahkan apa di dalam nya? Ini enak sekali."
     "Kurasa madu. Aku kehabisan gula tadi. Maaf." 
     "Madu? Kau kira aku beruang?" Baru ia berbalik dan memandangku. "Mengapa kau selalu melakukan hal bodoh?"
      "Apa aku salah?" tanyaku, "Aku suka Teddy Bear." Aku kembali tersenyum, "Bukan berarti aku tidak suka dengan apa yang kau minum, Rose, kemudian aku tidak memasukkan hal-hal yang kusuka di dalamnya."
       "Oh, how cute was that..." Ia memain-mainkan gelas kaca yang ia pegang, lalu menghabiskan seluruh isi nya. Ia mendatangi meja minuman. "Kau menaruh madu ke dalam satu teko ini?"
     "Ya. Kau suka?"
     "Aku suka sekali." Ia memberikanku senyuman, yang kutahu itu hanya menggodaku. Ia kemudian mengisi gelasnya lagi. Kurasa ia tidak berbohong. Ia menuangkan cukup banyak. 
     "Kau menunggu seseorang, Rose?" tanyaku. Aku kembali dengan gitarku. 
     "Ya. Aku menunggu Luke. Kau mendapat kabar darinya hari ini?"
     "Aku mencoba untuk bertahan tidak menelepon atau menghubunginya, Rose." Aku menjadi malas memainkan gitarku. Aku melemparnya ke sebelah ku. Aku membaringkan diri di sebelahnya. Aku menghela nafas. "Apa kita akan menghabiskan waktu malam ini dengan hanya membicarakan Luke?"
     "Aku tidak bermaksud untuk membicarakannya." Ia memberikanku nada meninggi. 
     "Lalu?" Pandanganku hanya melihat langit-langit kamarku. 
     "Aku tahu kau benci padanya. Dan, kau sahabatku. Dia pacarku. Aku tidak tahu harus memilih siapa, aku juga tidak tahu jika aku ada masalah dengan mu, aku pasti akan berbicara dengan Luke."
     "Kau membicarakan tentang ku kepada Luke? Rose, please..."
     "Well, jika aku ada masalah dengan Luke, tentu aku akan membicarakan nya dengan mu." 
     "Not interested." jawabku. Tiba-tiba kasurku berguncang. Rose sepertinya meloncat cepat untuk juga berbaring di sebelahku. Aku memandangnya kaget, "...kemana gitarku?"
     "Aku tidak memintamu untuk memberikan komentar atau saran mengenai apa yang akan kubicarakan. Aku hanya minta kau mendengarnya..." Raut wajahnya. Ia kembali menggodaku. Aku melihat gitarku sudah berdiri menyandar dinding di sebelahnya. 
     "Baiklah. Apa yang harus kudengarkan, Rose?" Ia tersenyum padaku. Kami berdua memandang ke langit-langit. Angin yang masuk dari jendela membuatku cukup nyaman. 
     "Kau tidak membenciku kan, ketika aku berpacaran dengan nya?" Aku tidak menjawabnya. Kurasa ia hanya memintaku untuk mendengar. "Baiklah. Kemarin malam, aku benar-benar khawatir mengenai Luke. Tapi aku tidak bisa mendekatinya. Kau tahu mengapa. Lalu pagi ini, aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi padanya kemarin malam, karena ia sama sekali tidak menghubungiku. Aku mencoba membaca koran hari ini. Kurasa kemarin hari berjalan sangat baik. Kau tahu?"
      "Kurasa..." Aku ingat seseorang membaca berita hari ini, mereka seperti tertawa-tawa saja. Kurasa memang tidak ada kabar buruk hari ini. 
      "Tidak ada yang melihat Luke hari ini. Aku benar-benar khawatir. Aku mencoba berkeliling dan aku tidak menemukan siapapun. Dan kau tidak mendapat kabar juga darinya." Kemudian ia menghela nafas lalu ia berhenti bicara. Aku tahu ia khawatir dengan kekasihnya, Luke. Dan kurasa ia telah selesai menggambarkan padaku seberapa ia merindukan Luke. Walau hanya sehari ditinggalkan. "Apa kau tidak khawatir?" tanyanya.
     "Apa kau sudah selesai membicarakannya?" aku balas bertanya.
     "Ya." Ia memandang ke arahku. "Mengapa kamu begitu membenci Luke?" Tangannya tiba-tiba memainkan rambutku. "Apa kau tidak khawatir kemana Luke sekarang? Huh...?"
     "Aku khawatir. Ia pacarmu. Apa yang harus kulakukan, Rose?" Aku menghela nafas, "Aku yakin Luke baik-baik saja. Malam ini kurasa ia mencarimu. Tidak mungkin ia membuatmu khawatir, Rose." 
     "Benarkah?" Aku dapat merasakan ada senyuman di wajahnya yang sedang memandangku. "Aku tahu kau peduli padaku dan Luke." Ia segera duduk dan kembali minum.
     "Aku mencoba mengerti kalian. Kau dan Luke." Jawabku. "Aku tidak peduli apa yang telah terjadi kemarin-kemarin. Aku mencoba berdiri dengan jalan yang kupilih saat ini. Kalian temanku. Setidaknya aku peduli dengan kebahagiaan kalian." Aku pun ikut terduduk di samping tempat tidur. Aku mencoba menyisir poni rambutku dengan tangan, "Aku tidak bermaksud menjadi seseorang di tengah hubungan kalian, Rose..."
     "I know." Mata kami berpandangan. "I know." ucapnya lagi. Ia kembali menghabiskan isi gelasnya. Ia tertawa kecil sambil memandang gelas kosong, "Kurasa aku minum banyak malam ini." 
     "Kau bisa berhenti, Rose." Aku berdiri dan mendatangi nya. Aku mengambil gelasnya. 
     "Thanks." ucapnya. Aku menaruh gelas itu kembali ke mejanya. Tiba-tiba suara kencang menderup tangga rumah. Rose segera berdiri dan dengan mudah ia membuka pintu kamar dengan cepat. Seseorang sudah berdiri di depan pintu kamar.
     "Luke!" kagetku. 
     "Oh, baby!" Rose segera meloncat kepada Luke. Mereka berpelukan di depanku. Aku benar-benar terlihat bodoh. "Apa kau baik-baik saja, sayang?"
     "Tentu saja. And you?" Mereka saling mengecek keadaan masing-masing. Aku mungkin seharusnya cemburu. Mereka kembali berpelukan. Rose membelakangiku. Luke memandangku. Dari matanya aku mengartikan dia menyampaikan "I'm sorry" padaku. Aku hanya menunjukan gayaku kalau tidak apa-apa.
     "Kalian dapat kuberikan waktu berada di kamarku." ucapku. 
     "Tidak perlu." Mereka berhenti berpelukan. "Kami yang akan pergi." ucap Rose. 
     "Tidak, Rose." ucap Luke, "Ada hal yang harus kubicarakan padanya. Rose, apa kau dapat memberikan waktu untuk kami berdua?"
     "Padaku?" Aku merasa tidak berbuat apa-apa. "Apa ini mengenai Rose?"
     "Bukan, bukan." ucapnya. "Ini benar-benar penting." Ia memandangku dan kemudian menatap Rose. "Baiklah, jika kau ingin berada disini, Rose." Luke mendekatiku. "Ada yang harus kau ketahui mengenai apa yang terjadi kemarin malam." Wajahnya seperti begitu cemas.
      "What is it, Luke?" tanyaku. Aku memandangi Rose. Aku harap ini bukan hal yang buruk.
     "Kau berada dalam bahaya besar....kemarin. Hal itu terjadi kemarin." ucapnya. 
     "Apa yang terjadi kemarin, Luke?" tanya Rose. Keadaan dalam ruangan begitu intens. 
     "Aku meninggalkan pakaian mu yang robek dan kotor, di kamar mandi mu." 
     "Aku tahu." ucapku. "Tapi aku tidak tahu..." Aku berhenti. "Apa yang kau lakukan kemarin, Luke?" tanyaku. "Rose, ada yang membuatku hilang ingatan mengenai apa yang terjadi kemarin."
     "Apa yang terjadi, Luke?" tanya Rose. Ia dengan cepat berpindah berdiri di sebelah ku. Ia mencoba memeriksa diriku. "Kau tidak mencoba untuk membunuh...." Kami berdua menangkap jawaban pertanyaan itu dari wajahnya.
        "Kau membunuh ku, Luke?" tanyaku.
       "Hampir...hampir membunuhmu." balas Luke dengan cepat. "Kau berada di sana. Aku tidak mengerti mengapa kau berada di sana. Lalu, entah kenapa, entah kenapa... aku pun juga lupa apa yang terjadi kemarin."
       "What?"
       "I blacked out. Dan... dan ketika kubangun, kau sudah berada di sampingku dan pakaianmu belumuran... aku begitu panik untuk memeriksa detak jantungmu ada atau tidak. I am so sorry." Aku melihat wajahnya begitu merasa bersalah. 
      "Kau hampir membunuh teman mu sendiri, Luke." tegas Rose.
      "Aku rasa bukan aku yang melakukannya." balas Luke.
      "Ya, tapi kau tetap menaruhnya dalam bahaya." Mereka berdua bertengkar di depanku. "Kau seharusnya lebih berhati-hati, Luke. Itu bisa saja kau, Luke. Kau tidak tahu."
      "Apa kau yang membawaku kembali ke rumah?" tanyaku padanya. Luke berhenti berargumen. Ia mengangguk.
      "Ya. Aku tahu kau masih hidup. Dan... "
      "Jangan bilang kau membuat lupa ingatan." ucap Rose. "Siapa yang membantumu melakukan itu, Luke?" 
      "Aku." Aku dapat melihat suatu bayangan dengan cepat memasuki ruangan dan kasur kamarku berguncang, entah, dan aku melihatnya. Ia tertawa, "Aku tidak mengira Luke akan meminta bantuanku. Ia benar-benar so desperate malam kemarin."
       "Sand." Rose seperti menunjukkan nada bahwa ia cukup berhati-hati. 
      "Hi, Rose." senyumnya. "Aku tidak bermaksud untuk menjadi musuh disini. Kurasa dengan aku membantu Luke kemarin, dia pacarmu, we're officially friends?" 
      "Aku benci melihatmu di sini." balas Rose. Sand kembali tertawa. "Apa yang sebenarnya terjadi kemarin malam?"
       "Well, dimanakah kau malam kemarin, Rose?" ia berbalik bertanya. "Kalian tahu," Ia kembali tertawa kecil dan menghela nafas, "I miss this place. Tempat dimana kita semua bersama berbagi cerita. Tidak semenjak semua berubah, bukan?"
        "Sand, kau tidak seharusnya berada di sini." Ucap Luke. 
       "Relax, Luke. I'm not trying to tease your girlfriend." balasnya lagi. Sand kemudian turun dari tempat tidur dan berdiri. Ia mencoba mendekatiku. Dengan langkah pelan. "Jika aku tidak menolongmu kemarin, " Ia berbicara padaku, "Mungkin kau sudah mati." Perkataannya itu membuatku tidak siap dan aku melangkah mundur.
        "Seseorang tolonglah, beri tahu aku sesuatu apa yang sebenarnya terjadi?" Rose kelihatan marah, "Sand, jika kau tahu sesuatu, segera ceritakan."
        "I'm not your gossip girl friend, Rose." balasnya. Ia berhenti berjalan, ia berbalik memandang Rose. "Jika aku boleh memilih, aku tidak ingin pernah menjadi temanmu, red-haired girl. That suits what's the real you...AKH!" Tiba-tiba Rose memojokkan Sand ke dinding kamar. Aku dapat mendengar hentakan yang cukup kencang menerjang dinding kamarku. Aku menahan teriakanku.
        "Aku tidak segan untuk menantangmu, Sand." Aku dapat melihat ia mencekik leher Sand sangat kuat. 
       "Hentikan, Rose!" Teriak Luke.
       "Setelah aku menyelamatkan nyawa teman-temanmu..." Aku tahu Sand sulit bernafas, "...ini yang dapat kau lakukan padaku...?" Mereka saling berpandangan cukup lama. Namun, akhirnya Rose melepaskannya. Sand kemudian bernafas sangat panjang. "HUIIHH!" teriaknya. Ia kemudian tertawa lagi, "Tidak seperti ini kalian seharusnya menyambut kawan lama, sobat!" Ia berjalan menuju meja minuman. 
      "Ia tidak akan memberitahukan apapun, Luke." Rose kembali kepada Luke. "Apa yang sebenarnya terjadi, Luke?" 
        "I blacked out, Rose. Aku tidak tahu. Aku pikir jika aku bertanya pada..." Luke menatapku. "Apa kau ingat sesuatu apa yang terjadi kemarin?" tanyanya. Rose memandangku. 
        "Apa kau ingat sesuatu?" tanya Rose. 
        "Hal yang kuingat kemarin malam, aku sedang belajar." balasku. 
       "Benarkah itu?" tiba-tiba Sand membalas. Ia sedang memain-mainkan gelas yang ada di meja minuman. "Kupikir kau telah menjadi sama seperti Rose."
       Aku tidak berani menjawab. Aku hanya memandang Luke. Apa yang terjadi kemarin, tidak ada yang tahu. Apa yang dikatakan Sand tadi, benar. Sudah begitu lama, aku, Rose, Luke, dan Sand tidak bersama dalam kamarku. Dan Sand, sudah lama aku tidak berjumpa dengan nya. 
       "Kau tahu sesuatu, bukan, Sand!" teriak Rose. 
       "Cukup." Ucapku. "Cukup, Rose." Mereka semua berhenti berbicara. "Kurasa kau sudah bertemu dengan Luke. Apa yang terjadi kemarin, setidaknya aku selamat, meski aku tidak ingat apa yang terjadi. Kurasa kalian semua sudah tidak ada urusan lagi denganku. Dapatkah kalian pergi?" tanyaku.
      "Wow..." Sand bersuara. Ia pergi dari meja minuman, "Ini pertama kalinya aku melihatmu seperti ini. Sudah berapa lama kita tidak bertemu."
      "Atau aku dapat pergi dari sini dan kalian dapat menggunakan kamarku dengan bebas." Aku berjalan dengan cepat ke arah pintu. Luke menghentikanku. Ia memegang lenganku.
       "Tidak. Kami akan pergi." ucap Luke. Ia melepaskan pegangannya, "Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi kemarin. Aku harap kau mengerti." Aku tidak membalas perkataannya. Ia pun memegang tangan Rose. "Ayo kita pergi, Rose."
       Rose tetap memandang Sand sampai ia pergi. Ia tidak menatapku. Aku hanya kembali sendiri di depan bilik pintu kamarku. "Kau tidak juga pergi, Sand?"
       "Menurut mu?" balasnya. "Apa yang terjadi kemarin benar-benar hal terbodoh yang pernah kau lakukan selama hidupmu, Amy." Ia dengan cepat telah berada di depanku dan membanting pintu kamarku hingga tertutup. Aku terpojok dengan badannya membayangiku. "Apa kau benar-benar ingin mati? Mendatangi Luke di tengah malam bulan purnama, dan ketika ia telah berubah menjadi serigala, kau membiarkan dirinya menerkam mu. Kukira kalian berpacaran, dan dia sekarang bersama dengan vampir rambut merah itu?" Wajahnya dan suaranya benar-benar menunjukan kalau dia benar-benar kecewa padaku.
      "Aku tahu kau kecewa padaku. Luke dan aku sudah putus. Aku yang memutuskannya. Kurasa itu alasan jelas mengapa ia menerkamku kemarin malam." 
      "Aku cuma minta satu darimu, Amy. Jangan bertindak bodoh." 
     "Mungkin itu yang menjadi perilaku ku sekarang. Bertindak bodoh." Sekarang aku bisa mencium kembali bau parfumnya. Tanganku memegang wajahnya, "Apakah berteman dengan vampir juga bodoh?"
     "Vampir adalah musuhku, Amy. Kau tahu itu."
    "Vampir juga musuh serigala. Tapi Luke mencintai Rose."
     "Sejak kapan mereka berpacaran. Sejak kapan kau dan Luke putus?" 
     "Sejak kau memutuskan untuk pergi meninggalkan kota ini tanpa ucapan perpisahan." Aku segera mendorongnya menjauh dariku. "Dan kau kembali, entah dari mana."
     "Aku membawamu kembali hidup, Amy. Aku menyelamatkanmu!" teriaknya. 
     "Aku tidak ingin kau menyelamatkanku!" teriak ku.
     "Kau kira aku senang membangkitkanmu!" balas nya, "Namun melihat dirimu mati mengenaskan seperti kemarin malam, aku tidak tahan, aku bahkan tidak mengerti bagaimana orang-orang nanti akan memakamkanmu!"
     Aku terdiam. Seluruh kekuatan di kakiku terasa hilang, aku terjatuh ke lantai. Air mataku mulai mengalir. Tangis isak ku mulai keluar. "Aku minta maaf...aku benar-benar minta maaf." Seluruh badanku gemetar dan aku dapat mendengar degupan jantungku sendiri. "Aku merasa sendirian, Sand. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan lagi. Aku tidak tahu...."
     Tangan Sand memeluk bahuku dari belakang. Aku semakin terharu, dan semakin teriak menangis. "Lebih baik aku menjadi mayat hidup dibandingkan aku masih benar hidup seperti ini. I'm tired of waking up every single day, to nothing. It's always the same cycle over and over. Without you." 
      "I'm here, now, Amy." Ia memeluk ku semakin erat. Ini pelukan yang telah lama pergi dariku. Aku sudah lama menyadari kenyataan yang berada di depanku. Aku tidak mengerti tapi aku berusaha menerimanya. 
      "Please, stay." Bisikku. Ia tidak menjawab. Ia hanya mengangkatku dan membawaku ke atas tempat tidur. Ia berbaring di sebelahku. Aku memeluknya dengan erat. Tangannya merangkul kepalaku dan memainkan rambutku. 
        "Apa aku sudah mati kemarin malam, Sand?"
        "Belum. Aku hanya menggunakan mantra menyembuhkan dan ...mengembalikanmu seperti semula."
       "Luke benar-benar membenciku, ya?"
       "Ia membawamu dengan keadaan seperti kau diculiknya di tengah kau sedang dioperasi. Itu benar-benar menjijikkan, kau tahu, Amy? Gross.... Aku tidak bisa memikirkan apakah dia membencimu atau tidak. Yang kutahu, kalian berpacaran. Tapi, aku tahu sekarang serigala itu lebih memilih bersama vampir, dibandingkan dengan manusia normal."
       "They are my friends, Sand. You are too."
       "Aku tahu."
       "It's okay to hate me." ucapku. "Apapun kalian, kalian tetap temanku. Apapun yang terjadi, as long as you guys are trying, I'm staying."

Comments

Popular posts from this blog

Like A Superman

Another Past: Monolog

To be Unfaithful