One Last Time

an idea: you are a bulletproof girl. Amanda Beth is a common girl, like many common girls. She's being loved by everyone and being hate by some people, too. Amanda is a high school girl with even lower average skills. We have to admit not everyone's smart and not everyone have to be good. So, Amanda gets into a genk, so tho she's stupid, she is saved, not being in bully around the school. She's one of the bully. But, that's not her. Whenever her bad friends are leaving her alone, she's trying to be friend with the bullied ones. She's helping the victims like in ninja ways. As I told you before, she's being loved by everyone, too, right? Amanda is helping them with spreading good things about them rather than against her own friends when the bullying's around. She's doing that for win-win solution and seriously, no ones really feel bad about it. Everyone needs her, but inside of Amanda, she thinks herself as a coward. who thinks
Do you know why it's hard to say goodbye? Because we afraid if our memories might not be able to remember them, rightly. The fact is, goodbye means good. No matter how hard.
~Aurora Esterlia

I Tell You

     "Tutup matamu." Ia memegang kedua telapak tanganku. Aku tertawa memandang wajahnya. "Kau tahu aku tidak sedang bercanda, bukan?" senyumnya. Aku hanya mengangguk dan aku pun menutup mataku. "Jangan mengintip." katanya. Aku kembali mengangguk sambil tertawa kecil. Tiba-tiba ia segera menarik kedua tanganku itu seperti memeluk sesuatu. Aku dapat merasakan panas badannya dan harum dirinya di dekat wajahku. "Peluk aku erat-erat." katanya. Aku mengikuti perkataannya. Aku memeluknya begitu erat. Aku dapat merasakan kedua tangannya yang besar juga menyentuh punggungku. "Sekarang, jinjitlah." Aku tidak mengerti maksudnya. Sesaat aku hanya terdiam. Ia pun terdiam. Aku tahu yang dia maksud kakiku benar-benar harus menjinjit. Aku pun hanya melakukannya. 
       Kedua telapak kakiku kujinjit dan entah kenapa, aku dapat merasakan kedua kakiku tidak lagi merasakan tekanan akan tanah yang kupijaki. Sekelilingku serasa angin semakin kencang bertiup dan rambutku terbang kemana-mana. Aku merasakan seperti diriku melayang.
      "Sekarang, bukalah matamu." katanya. Aku membuka mataku, dan aku benar. "Kita sedang berada di langit di atas gedung pencakar langit." Aku benar-benar terkejut dan aku benar-benar tidak tahu bagaimana cara lain lagi untuk mengencangkan pelukanku di badannya. "Tenang saja, aku menjagamu. Kau tidak akan terjatuh." Ia tertawa kecil. Aku dapat melihat seluruh gedung-gedung pencakar langit sedang berada sangat jauh di bawah kakiku. Seluruh kota hanya telihat seperti kumpulan lampu-lampu yang berkelap kelip di tengah gelapnya langit malam ini. "Apakah kau suka?" tanyanya. Aku berusaha mengatur nafasku, aku mencoba mengembalikan pikiranku seperti awal. Aku tidak percaya, kalau aku sedang terbang. Aku sedang melayang di atas langit, bersamanya. 
         Aku memandang wajahnya. Ia tersenyum. "Ya, aku membawamu terbang." katanya. Entah kenapa rasa takutku seperti berubah menjadi adrenalin ketika kulihat ia tersenyum. Adrenalin yang kurasakan saat ini sangat mendegup kencangkan jantungku, nafasku bergerak sangat cepat, hingga aku tertawa dan senang. Aku tersenyum padanya. "Aku tahu kau suka hal ini." katanya lagi. Kemudian, ia kembali membawaku terbang semakin ke atas. Aku kembali gugup dan kaget. Ia hanya kembali tertawa. Ia membawaku mengitari seluruh langit di atas kota. Dalam sesaat, seluruh kegugupanku tidak lagi kuhiraukan. 
            Kami menikmati pemandangan kota di malam hari yang sangat indah bersama dengan angin yang sepoi-sepoi menerpa kami. Sesaat, kami telah selesai mengitari seluruh kota, kami pun turun dan mendarat di tepi pantai. "Kamu senang?" tanyanya. Aku tersenyum padanya dan segera mencium pipinya. Aku dapat melihat pipinya merah merona. Aku tertawa kecil. "Aku punya satu kejutan lagi." Ia segera menarik tanganku dan berlari menyusuri tepi pantai, hingga pada ujungnya. Aku melihat perapian kayu yang terbakar, dan satu meja makan bersama bunga-bunga yan gmenghiasi di sekitarnya. Aku dapat melihat salah seorang pelayan sedang menuangkan minuman pada kedua gelas bening di atas meja dan seorang pelayan sedang memainkan biola. 
           Ia membawaku ke dekat perapian kayu itu. "Maukah kau berdansa denganku?" tanyanya. Aku tersipu-sipu malu. Ia kemudian mencium tangan kananku dan segera menaruh tanganku pada badannya. Ia mulai memimpin gerakan tarian itu. "Aku tahu kau pintar berdansa, seperti yang kuperkirakan." senyumnya. "Ini lagu yang dimainkan pertama kali kita bertemu di bar." Aku masih ingat hari dimana aku mengenalnya untuk pertama kali. Tapi aku tidak menyangka ia sempatnya mengingat lagu yang tidak pernah kuingat. Aku kembali tersipu-sipu sampai menunduk. "Apa aku menakutimu?" tanyanya.
        Sesaat kepalaku kembali tegak dan memandang wajahnya. Aku menggelengkan kepalaku. Senyum di wajahnya semakin lebar. Ia kemudian segera membuat diriku memutarkan badanku dengan tangannya. Aku dapat merasakan ia mengangkatku dan membuatku terbang, walau hanya sesaat, dan ketika ku kembali ke posisiku semula, kakiku kembali berada di pasir. Ia mendekatkan tangannya dan merapikan poni rambutku. "I tell you, I'm a very dangerous. Your life could be in danger someday, if you with me." katanya. Aku tidak menjawab apapun. Aku hanya melepaskan tanganku darinya, menjauhkan badanku darinya, berjalan mundur darinya. Pandangannya tetap padaku. Aku kembali melihat sekelilingku. Pemain biola itu masih memainkan lagunya. Aku berjalan melewatinya dan mendekati meja makan. Ia menyiapkan satu vas di tengah meja yang berisi bunga limau. Harumnya menyegarkan. Warna bunganya menyatu dengan taplak meja putih yang di atasnya ditaburi kelopak bunga mawar merah. Aku melihat salah satu piring di atasnya diletakkan kartu ucapan. Aku mengambilnya dan membukanya.
             Aku membacanya. Aku segera menutupnya dan kembali memandang apa yang ada lagi di atas meja makan. Dua gelas bening yang berisi red wine. Aku mengambilnya dan segera meminumnya. Asamnya begitu pas. Aku segera kembali meletakkannya. Tidak ada lagi di atas meja yang dapat kulakukan. Aku masih memegang kartu ucapan itu. Kali ini aku merasakan, dia telah berada di belakang ku. Aku berbalik dan ia sedang berjalan mendekatiku. Aku kembali menunduk, memandang kartu ucapan yang sedang kupegang. "Ada apa?" tanyanya. Ia telah sampai di depanku. Tangannya kembali mendekati wajahku, ia mengangkatnya dan kami saling berpandangan lagi.
           "You want to leave?" tanyanya. Aku memegang kartu ucapan itu dengan kuat. Aku rasa ia selalu berbohong padaku dan aku selalu membencinya. Tapi sekarang, aku dapat melihat seutuhnya dia, yang mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengatakan padaku yang selama ini ia rahasiakan. Padahal aku hingga kini, tidak memberikannya banyak hal. Aku tidak mengatakan kalau aku sepenuhnya salah. Kartu ucapan ini menuliskan hal yang tidak pantas ku terima darinya. Aku mengambil salah satu tangannyadan kuletakkan kartu itu kembali padanya. Aku menutup jemari-jemarinya. Aku tersenyum padanya. Aku dapat terus berpura-pura, tapi tidak kali ini.
           Aku ingin mengatakan yang sebenarnya kepada nya. Apa yang kurasakan selama ini sama dengan apa yang ia rasakan. Harapanku selama ini, menunggu waktu yang tepat, hingga sekarang ini yang kutunggu-tunggu selama ini, benar-benar terjadi. Aku ingin mengucapkannya, aku ingin merasakan udara menyentuh lidahku dan menyuarakan isi hatiku. Hanya beberapa kata pun tidak apa. Aku ingin mengekspresikan nya dengan teriakan, air mata, bahkan loncatan. Aku ingin dia melihatnya di dalam mataku. Aku rasanya ingin kembali terbang bersamanya dan membiarkannya melepaskan ku dari lapisan langit yang paling tinggi, dan aku terjun bebas, merasakan nikmatnya udara angin yang cepat, hembusan yang ingin kurasakan saat ini di seluruh diriku. Aku ingin mengatakannya.
         "Thank you." Air mataku keluar dan aku menciumnya dengan perlahan, "I do."

Comments

Popular posts from this blog

Another World: End Monology

Nothing Better

today's illness