Lost Sight, Found Strength

The path is so dark and dim, but Julie keeps walking. She is scared, yet her adrenaline makes her look back several times, urging her to walk faster with each step. She wonders why she can't move faster and then realizes it's just her thoughts getting wilder the longer she's on the road. She shouldn't have chosen this path—terrified and confused. She's already halfway through. It sucks. The only way is to adapt, over time. She has one more block, two more, and again she convinces herself it's just one more step to her destination. She's no longer afraid when she starts looking at the sky instead of the road. The evening feels scarier when it's right in front of our eyes, but when it's above, the stars are beautiful. The cold air on her skin feels warmer as her mind grows calmer. Gently, she realizes that she's no longer worried. In fact, she's arrived, in no time. -- I think loneliness comes from the mind. It's not about being surrounded ...
Do you know why it's hard to say goodbye? Because we afraid if our memories might not be able to remember them, rightly. The fact is, goodbye means good. No matter how hard.
~Aurora Esterlia

Breakdown The Cure (Part I)

"Sweet Carolina, little Carolina, miracles 'round mama, stay by her side."

It kept ringing around her ears but she still not wake up entirely. Her body still not strong to move and she lie down on someone's lap, things keep moving on the sky, and seem lots of people around her.

"Sweet Carolina, little Carolina, miracles 'round mama, by her side."
A mother's voice must be singing to her child, around of people but her ears could guess about it. She just back to sleep until she remember to back waking up.


"Abby, are you already awake? Abby?"

It's not like a normal day when she's being awake and one of the maid helps her to prepare the day. Or, she's on the village and have elders awake her to help them cook.
Or, when Rover slept next to her.

"Abby?", it's Tom.

Hal terakhir yang terjadi pada Abbigail Edmoure adalah ketika ia berada di tengah medan perang, berapakaian pedalaman dengan wajah penuh cat, berlari mengejar Rover William. Bukan suatu keharusan ketika para pria maju ke medan perang dan para wanita tinggal di desa, menunggu pasangannya kembali yang mungkin tidak akan kembali. Apa yang Abby lakukan adalah menjemputnya kembali pulang. Rover.

Lalu, Abby tertembak.

Tom memegang tangan Abby sangat erat ketika Abby terbangun di ranjang rumah sakit. Hal berbeda dari ranjang rumah sakit itu, semua ditutupi oleh sekat terpal. Terpal itu putih dan bening. Hal yang memisahkan tangan Abby dan tangan Tom adalah terpal itu. Tangan Tom masuk ke dalam lubang dan membentuk sarung tangan. Abby dikarantina. Wajah Tom begitu berbeda dari apa yang diingat Abby. Rambutnya cepak, tak terurus, karena tidak perlu lagi disisir, lalu memiliki janggut pendek. Ia memiliki kantung mata yang cukup dalam. Abby melihat sekelilingnya dan ia ingat bagian mana dari dirinya yang tertembak. Bagian perut.

Abby masih sadar saat ia berada di helikopter untuk diselamatkan dari medan perang. Orang-orang di sekitarnya tidak lagi orang pedalaman melainkan para militer. Salah satunya Tom. Hal yang ia tidak inginkan adalah Rover tidak berada di sisinya. Tom memanggil Rover mendekat dan ia pergi. Rover yang memegang tangannya selama di helikopter.

Abby menjauhkan tangannya dari Tom. Abby memandang ke langit-langit ruangan. Ia tidak dapat memikirkan apapun selain apa yang membuatnya berakhir disini. Tom bertanya, "Apa kau mencari Rover?" Pertanyaan itu menangkap perhatian Abby. Abby memandang keluar dari terpal. Tom tersenyum. Abby tidak berekspresi, ia tahu dirinya terkena infeksi. Abby menanyakan, "Apa Rover baik-baik saja?" dan Tom mengangguk. Abby membalas, "Bagaimana dengan mu, Tom?" Tom membalas, "Aku menjagamu." Abby bertanya lagi, "Apa kamu juga terkena?" Tom terdiam. Mereka berdua saling bertatapan.

Abby tidak mengira sehari sebelum ulang tahunnya merupakan terakhir kali bertemu dengan Tom. Hari yang normal. Hanya bertemu, berbincang, lalu berpisah.

"Siapapun yang ikut menemani mereka yang terkena, masuk ke dalam list contagious." ucap Tom. Abby tetap memandang Tom, Tom terus berbicara, "Kami turun dari helikopter dan kami membawa mu dan Rover ke markas. Lalu, pihak medik mengecek setiap kita. Rover dibawa oleh pihak medik ke ruangan yang berbeda namun semua ruangan berkaca. Rover terus berjalan dan aku terus memperhatikan kemana ia berada, lalu ia mulai berteriak dari balik kaca, seperti mereka akan membawa mu pergi. Dan, benar. Beberapa orang menunggu di ujung ruangan yang kami jalani dan mereka meminta kami untuk terus berjalan, meninggalkan mu dengan mereka. Rover berlari kembali keluar dari ruangannya dan masuk ke lorong, ia berteriak bahwa mereka akan membawa mu pergi." Tangan Tom kembali memegang Abby di dalam terpal. Ia berhenti berbicara.

Kehilangan orang yang paling kita sayangi tentu membuat diri kita penuh khawatir. Dan, ketika mereka kembali malah membuat diri kita semakin khawatir. Mungkin mereka akan hilang kembali.

Kondisi mereka yang terkena infeksi:
1. Mereka jatuh sakit.
2. Pendarahan di dalam.
3. Meninggal.
4. Hidup kembali.
Mata Abby terlihat pembuluh darah di dalamnya pecah, di kedua matanya. Salah satu tanda.

"Rover tahu bagaimana menyembuhkan mu. Ia akan menyembuhkan mu."
"Berapa lama sejak aku dibawa oleh helikopter hingga kemari?"
"Empat hari."
"Besok mungkin aku akan mulai muntah darah."
"Rover akan secepatnya membawa obat untuk mu."
"Aku tidak pernah tergigit. Bagaimana aku dapat terkena?"
"Rover bilang peluru yang tembus ke badan mu..."
"Oh..."
Tom kembali memandang Abby dan berkata, "Aku tak akan pernah meninggalkan mu, lagi."

Tom yang memang meninggalkan Abby sejak awal. Hari ulang tahun Abby dan Tom menerima tugas dari ayah Abby, seorang laksamana. Lalu, tidak ada yang mendapatkan kabar apakah Tom selamat atau tidak. Satu-satunya yang Abby miliki dari Tom semenjak ia pergi hanyalah Rover.

"Jika aku mati, aku ingin melihat Rover untuk terakhir kalinya."
"Kau tidak akan mati, Abby."
"Aku dan Rover sudah lama menelitinya, Tom. Sepuluh hari merupakan masa terlama pasien yang terkena virus untuk hidup."
"Dan kau tidak akan mati, tidak tanpa seizinku."
Tom berdiri dari kursinya, "Tidak tanpa seizin...," ucapnya lagi. Abby hanya memandang Tom di luar terpal.
"Aku tidak pernah berhenti berharap bahwa kau akan kembali," Tom mendengarkan perkataan Abby, "Aku tidak pernah berhenti menunggu. Tapi aku butuh Rover, kau tahu?" Abby mulai kembali memandang langit-langit ruangan, "Aku butuh Rover."

Rover berada di salah satu ruangan di gedung karantina ini. Rover tidak pernah meninggalkan Abby. Rover William, ilmuwan genius yang memutuskan untuk menanggalkan identitasnya dan menjadi bagian dari pulau teroris, dapat dikatakan. Suatu hal yang jahat selalu datang dari teroris. Rover hidup dan masuk kedalam dunia politik pulau teroris itu. Mereka membicarakan tentang menguasai dunia dan merusak kesehatan dunia, kemudian memegang kendali untuk mengobatinya. Selama dua tahun Rover mempelajari virus yang mereka buat, apa yang Rover dapatkan adalah virus ini tidak ada obatnya. Dua tahun ia berusaha mempelajari, pulau teroris ini memiliki banyak sekali tumbuhan-tumbuhan liar. Tanah terkutuk, tumbuhan beracun. Rover mengumpulkan semua sampel tumbuhan itu. 674 sampel. 674 sampel dan semuanya Rover dapatkan penawarnya. Tapi, bukan virus ini. Rover masuk ke dalam dunia politik mereka dan mendapatkan gelar tertinggi sebagai ilmuwan dan ia pun ikut didalamnya, menemukan rahasia dari virus itu. Satu hal yang berhasil Rover lakukan adalah menggagalkan rencana mengirimkan penularan airbone virus tersebut melalui misil-misil. Rover menggantikan semua isi misil itu dengan vaksin racikannya untuk 674 sampel racun yang ia kumpulkan. Rover mempertaruhkan nyawanya demi menggagalkan misil-misil itu. Semua racikan virus itu ia hancurkan dan tersisa di tangannya, empat sampel virus. Ia seorang diri di dalam ruangan bersama empat botol kecil berisi cairan bening. Ia berpangku tangan dan memandang botol-botol itu.  Dalam pikirannya, Rover membayangkan dua tahun ia berjuang dan virus ini tidak dapat disembuhkan. "Selalu ada satu cara," Rover berbicara sendiri, tangannya memegang satu botol itu, "deadline inspiration...."  Rover mulai mengangkat botol itu dan mendekat ke mulutnya.

Rover William, seorang ilmuwan jenius yang selalu tinggal sendirian di apartemennya yang cukup besar. Ia tidak suka orang lain tinggal bersamanya, meski itu bukan apartemen miliknya, melainkan ia sewa. Rover William bukan orang kaya, bahkan dari panti asuhan. Hidupnya yang penuh dengan kesendirian membuatnya sensitif berhubungan dengan orang lain. Ia tidak pernah pacaran. Menurutnya, hubungan jangka panjang tanpa ada ikatan permanen merupakan kepura-puraan yang terus diperpanjang. Rover suka batang cokelat, Ketika ia memakannya lalu berhenti memakannya untuk dimakan esoknya bukan berarti ia berhenti untuk menikmati cokelat itu di lain hari. Ia berhenti karena ia cukup untuk sehari. Besok, cokelat itu sudah meleleh, Rover dapat beli yang baru. Namun, hubungannya dengan Tom Dean melebihi dari sebatang cokelat.

"Rover," Tom menghentikan gerakan Rover dan Rover terpaku memandang botol itu di depan mukanya, "Apa yang sedang kau lakukan?" Tom masuk ke dalam ruangan sambil menutup pintu ruangan. Tom secara perlahan menaruh kembali botol itu ke meja. "Rover, apa kau sedang sibuk?"
"Tidak," ucap Rover, "Hanya memandang pada kekosongan di depan." Tom berpangku tangan kembali, "Mengapa kau kemari, Tom? Bukankah kau menemani Abby di ruangan?"
"Ia bilang ia butuh bertemu dengan mu." Rover memandang Tom yang berjalan ke arahnya, "Ia membutuhkan mu."
"Aku tidak membutuhkan nya." balas Rover. 
Keduanya saling bertatapan seakan itu suatu hal yang wajar antar pria untuk saling bertatapan. Namun mereka berdua tetap saling bertatapan hingga salah satunya mengalah.
"Apa empat botol ini?" tanya Tom.
"Virus."
"Bagaimana kau mendapatkannya?"
"Mereka memberikan akses untuk ku mendapatkannya."
"Apa berarti kita dapat membuat vaksin dari virus ini?"
"Tidak. Virus ini terlalu ganas untuk menjadi vaksin."
"Why?"
"Kau tahu Herpes Simplex Virus?"
"Kita semua memilikinya."
"Ya. Tapi tidak ada obatnya."
"Apakah itu, ini?"
"Semua virus baru memulai hidup ketika ia menyatu dengan hal yang menghidupkannya. HSV adalah virus yang dimiliki oleh setiap tubuh manusia dan entah darimana, ia hidup dengan sendirinya. Suatu hal yang tidak dapat dijelaskan. Perbandingan untuk menemukan vaksin dari virus ini sebanding dengan kita mencoba menemukan jarum di tumpukan jerami."
"Apakah menurut mu kita dapat menemukan jarum itu sebelum Abby mati?"
"Abby sudah terlambat untuk ditolong, Tom."
"It's all your fault!" Tom menarik seluruh kerah baju Rover, "HAH! Itu salah mu! Kau yang membuatnya terkena!" Rover hanya terdiam, "Jika kau membiarkan nya mati, itu salah mu dan aku tak akan pernah memaafkan mu."
"Aku tidak butuh maaf dari mu," ucap Rover.
Tom benar-benar tidak mengerti Rover. Ia segera mendorong Rover dan melepaskan kerahnya. Rover jatuh ke lantai. Tom segera kembali memandang ke arah empat botol di atas meja tersebut. Tom segera mengambil salah satu botolnya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Rover. Ia segera berdiri dan berusaha mengambil botol itu dari tangan Tom. Tom berusaha menghindar, "Kembalikan."
"Jika tidak ada yang bisa menyelamatkan Abby, setidaknya aku punya alasan untuk memaksamu menyelamatkannya."
"Apa? Kau akan meminumnya? Membuatmu juga terkena?" tanya Rover sambil tetap berusaha meraih botol itu. Tapi, Tom terlalu lihai dalam menghindari jangkauan tangan Rover. Lalu, Tom menampar wajah Rover. 
"AW!" Rover berhenti. Keduanya berhenti.
"Apa kau ingin aku melakukannya?" tanya Tom, "Membuat diriku terinfeksi? Apakah itu dapat membantu mu menyelamatkan Abby?"
"Aku akan berusaha menyelamatkan Abby dan kau." balas Rover. Mereka berdua saling bertatapan kembali. Tangan Rover mulai mengusap pipinya yang tertampar, ia kembali duduk dan menduduk, "Aku tidak akan membiarkan kalian mati. Kau tahu itu. Aku... hanya tidak tahu lagi harus mulai darimana."
Tangan Tom tetap menggenggam botol kecil itu. Ia kemudian memandang dan terus memandangnya. Lalu ia mulai berbicara, "Kau bilang HSV. Cara mengobatinya hanyalah berusaha untuk memperlambat penyebarannya."
"Ya, seperti virus pada umumnya. Siklus terakhir adalah membiarkan pasien mati atau tubuh pasien ternyata berhasil mengalahkan virus itu dan ia kembali sehat." balas Rover.
"Apa yang terjadi pada pasien yang berhasil mengalahkan virus itu di tubuhnya?" tanya Tom.
Rover terdiam.
"Apa kau dapat membuat vaksin dari orang tersebut?" tanya Tom.
Rover tidak menjawab.
"Kita dapat melakukan cek darah kepada orang itu dan kita dapat mengetahui apa yang membuat pasien tersebut imun, bukan?"
"Ya."
"Lalu apa yang dapat terjadi?" tanya Tom.
"Jika pasien itu kebal dikarenakan darahnya kemungkinan besar hanya dia dan golongan darahnya yang dapat selamat. Namun, jika pasien itu pernah mengkonsumsi suatu obat dan kita dapat berasumsi bahwa pasien itu berinteraksi dengan konsumsi berlebih dan dominan ada di tubuhnya..."
"Seperti nikotin?"
"Ya, seperti nikotin. Maka, kita dapat berasumsi terdapat perubahan antibodi pada pasien sehingga ia berhasil mengalahkan virus itu."
"Dan kita dapat membuat vaksinnya?"
"Tidak, jika hipotesa terakhir adalah pasien itu memang memiliki kelainan antibodi."
"ADEM?"
"Ya. Itu satu-satunya hipotesa terakhir. Tubuh mereka sendiri adalah bom waktu."
"Bahkan virus seganas apapun bukan tandingannya," ucap Tom.
"Bukan berarti virus itu mati di dalam mereka." balas Rover, "Itu mengapa mereka yang mati, hidup kembali."
"Protein..."
"Kita hanya membicarakan apa yang terjadi pada mereka yang beruntung dan terkena infeksi. Bagi mereka yang berhasil mengalahkan virus. Bukan bagi mereka yang membutuhkan keberuntungan itu." ucap Rover, "Apa yang kita butuhkan untuk Abby bukan sekedar menyelamatkannya, Tom. Sekali seseorang terkena, ia akan selamanya terkena. Mereka adalah bom waktu. Kita mungkin dapat mengendalikan penyebaran, memperlambat kematian nya, atau bahkan menyembuhkannya dan hidup kembali normal adanya. But, she's still contagious. Siapapun yang terkena darahnya pasti tertular."
"A contagious vaccine."
"Ya."
"Apa semua ide ini sudah ada di dalam pikiran mu sejak lama?"
"Ya."
"Apa kau sudah memberitahu hal ini kepada orang lain?"
"Not ever. But, you. Now."
"Apakah menurutmu orang lain sudah memiliki pikiran seperti ini selain kau?"
"Maybe... and possible."
"Do you think they already make the vaccine?"
"Apakah kau tidak dengar ketika aku mengatakan perbandingan untuk menemukan vaksin dari virus ini sebanding dengan kita mencoba menemukan jarum di tumpukan jerami?"
"Kau tahu bagaimana aku dapat dengan mudah menemukan jarum itu?"
Rover terdiam.
"Burn them all and wait them turn to ashes and..."
"Jarum dibentuk dari besi atau kawat berlapis baja karbon, nikel, atau emas."
"So?"
"They melt on heat temperature. A needle is just so tiny and thin...it will melt."
Tom terdiam.
"Kau tahu, kan?" tanya Rover.
"Ya." Tom mulai berjalan kesana kemari, "Bukan berarti orang lain telah membuat vaksin tersebut."
"It's okay. No one will make the vaccine."
"Aku hanya ingin kau menyelamatkan Abby. Bukan membahayakan hidup semua orang."
"Ya."
"Tapi vaksin yang kau bicarakan adalah kiamat."
"We're all at the end of the world."
"Not funny."
"Tom. Dapatkah kau kembalikan botol kecilnya?" Mereka berdua kembali berpandangan, "Tom, dapatkah kau mengembalikan botolnya?" Rover menunggu. Tom hanya memandang Rover lalu ia segera menyerahkan botol itu. Ia segera berjalan pergi.
"Kau tak pernah peduli akan Abby." ucap Tom sebelum ia keluar dari ruangan.

Rover kembali sendirian didalam ruangan bersama keempat botol kecil berisi virus tersebut. Ia kembali menaruh botol kecil itu di atas meja bersama ketiga botol lainnya. "Deadline inspiration..."

Tom di luar ruangan Rover, ia bersandar di dinding lorong, "You never care."

Abby masih di dalam terpal, terbaring di ranjang, memandang langit-langit ruangan. Ia tidak pernah mengira kalau dirinya merupakan salah satu yang terinfeksi, "So this is how it feels." Ia merasakan panas di tubuhnya dan matanya berair mulai berwarna agak kemerahan.

Di bagian negara yang berbeda, kembali ke daerah Pulau Beracun, satu-satunya daerah yang terinfeksi di seluruh dunia. Pulau itu benar-benar terisolasi. Helikopter dengan senjata, pengawas dari militer laut, dan perayaan pelepasan lampion terbang di pinggiran pantai untuk mengenang mereka yang meninggal. Seperti itulah yang digambarkan oleh media massa di depan televisi. Tak satupun footage apabila ada mereka yang mati lalu hidup kembali. Pulau itu terkenal dengan Pulau Beracun dan media menyatakan bahwa tingkat racun di pulau itulah yang membunuh seluruh warga dan turis disana. Bodoh.

Chase sedang di kantin sekolah dan televisi di belakang kasir menyala keras. Tidak sekeras seluruh suara di dalam ruangan kantin. Chase duduk sendirian. Ia berubah semenjak perjalanan tamasya seminggu yang lalu. Itu yang dipandang oleh Piper. Piper duduk bersama ketiga teman Chase lainnya, Frans, Wilton, dan Josh. Piper layaknya anak perempuan yang senang bergaul dengan teman-teman lelaki, tomboy. Piper dengan rambut blonde keriting dan berantakan, ia mendatangi meja Chase. Chase memandang Piper yang berdiri di depannya. Piper bahkan duduk berhadapan di meja itu. Chase mulai terlihat muram karena ia tahu teman-temannya membutuhkannya, Piper mulai berbicara, "Chase, kau jarang kelihatan," dan Chase hanya terdiam, "Bagaimana liburan mu dengan keluarga? Bagaimana Erin?"
Mereka tidak tahu apapun tentang kematian Erin.
Mendengar kata Erin, semua ingatannya di Pulau Beracun itu kembali berada di hadapannya. Salah satunya, Erin yang berubah dan keluar dari mesin pendingin, seluruh badannya penuh luka dan sudah biru, ia siap menerkam Chase, "Chase?" Josh dan kedua teman lainnya ikut menghampiri meja Chase dan duduk bersamanya, "Mengapa kau makan sendirian?"  Chase cukup terkaget namun itu tidak membuatnya untuk panik. Ia hanya kembali ke dunia nyata. Frans dan Wilton adalah kembar. Mereka mulai duduk mengapit Piper dan melakukan hal bodoh dengan makanan satu sama lain, dimana Piper menjadi kesal dan mereka bertiga mulai sibuk sendiri. Josh, terduduk di sebelah Chase, ia memandang Chase, "Kau cukup serius memandang televisi. Apa mereka membicarakan Pulau dimana Max sangat obsesif mengejar sang Serial Killer?"
Bahkan sahabatnya tidak tahu tentang kematian Max.
Chase mulai menangis. Tak ada yang bisa bereaksi normal di ruangan kantin sekolah  ketika anak remaja lelaki menangis di tempat publik. Lagipula, Chase sudah 18 tahun.
 Chase berakhir di ruangan BP. Miss Angeline, usia 27 tahun, ia guru tercantik di sekolah. Miss Angeline duduk bersama Chase di dalam ruangan sedangkan Josh menunggu di luar pintu. Miss Angeline adalah sesosok guru yang memang tidak sering berjumpa dengan Chase. Chase adalah anak yang tidak mencari ulah di sekolah, bahkan ia memupuk prestasi, ia sangat mengidolakan ayahnya seorang detektif, dan ia ingin menjadi seorang polisi. Chase merupakan anak yang kuat dan berkarisma. Miss Angeline sering melihat Chase dan ia saat ini hanya tersenyum dan menanyakan, "Adakah hal yang kau ingin ceritakan, Chase?" Chase hanya merawutkan rambutnya sambil melihat ke arah lain, karena ia masih belum bisa menghentikan air matanya yang terus mengalir deras. "Chase apakah sesuatu terjadi di rumah? Kau dapat percaya padaku." Chase menjawab, "No..." Hal ini membuat Miss Angeline menunggu ia bicara. Chase pun mulai menenangkan diri dan menghapus air matanya. Miss Angeline pun kembali memandang Chase, " Aku berharap kau baik-baik saja, Chase.Apapun yang ingin kamu sampaikan, sampaikan saja."  Chase hanya memandang Miss Angeline karena ia tahu Miss Angeline hanya khawatir padanya. "Apakah anda percaya pada..zombie?" Miss Angeline terdiam karena pertanyaan Chase diluar ekspetasinya. "Apakah kamu menanyakan apa Miss suka film horor bertema zombie? Ya." Chase membalas, "Apa yang Miss lakukan jika wabah zombie benar-benar ada?" Miss Angeline balik bertanya, "Apakah ini alasanmu menangis, Chase? Kau takut wabah zombie itu ada?" Chase memandang Miss Angeline, "Ya..." Miss Angeline pun sedikit tertawa dan berusaha membalas, "Tidak ada yang namanya wabah zombie, Chase." Chase segera menjawab, "Wabah itu ada, Miss Angeline. Berita yang ada di televisi, kejadian di Pulau Beracun. Apa yang terjadi di sana adalah wabah zombie." Miss Angeline terkaget, "Bagaimana kau bisa tahu?" Chase menjawab, "Karena aku baru saja dari sana, Miss. Bersama Mom dan Paul." Miss Angeline bertanya, "Pulau Beracun sudah diisolasi sejak dua minggu yang lalu, Chase, dan tak ada yang tahu keadaan di dalam sana. Chase, apakah Mom dan Paul tahu tentang hal ini?" Chase jawab, "Tentu saja mereka tahu! Kami bertiga selamat dari pulau itu." Miss Angeline terkaget dengan nada suara Chase, "Miss, saya minta maaf..." Chase segera berdiri dari kursinya dan beranjak pergi keluar dari ruangan dengan jalan yang cepat. Josh terkaget dengan Chase keluar dengan cepat, "Chase!" Josh memandang sebentar ke arah Miss Angeline berada namun ia lebih memilih mengejar Chase. Miss Angeline segera menarik laci meja dan ia mengambil buku alamat murid, ia mencari nomor telepon yang bisa ia hubungu terkait keadaan Chase. Miss Angeline mulai menelepon dengan telepon di ruangan kerja dan Yola, ibu Chase menjawab.

Josh dan Chase berjalan pulang bersama. Chase masih dengan wajah lembap namun ia berjalan normal. Josh sendiri hanya terus memandang ke depan, ia tidak berbjcara apapun. Selama dua minggu ini, Josh tahu ada yang berubah di sikap Chase. Hari pertama di sekolah setelah Chase pulang dari liburannya, Chase sama sekali tidak bicara pada siapapun dan pulang lebih cepat, seakan menghindari semua orang. Josh hanya bisa menemukan Chase di kantin sekolah, selalu duduk di meja dekat bagian kasir, menghadap memandang televisi. Di kelas olahraga, Chase memilih untuk lari marathon ketimbang main bersama anak lain. Josh tidak mau mengajak Chase namun anak-anak lain datang menghampiri Chase yang sudah melakukan 5 kali lap untuk bergabung. Chase pun ikut bergabung dan mereka main sepakbola, Chase menjadi keeper dan tak satupun bola masuk ke gawangnya. Bagi semua orang, itu tidaklah aneh. Maka, Josh membiarkannya seminggu kemarin. Mungkin Chase ingin memiliki waktu sendirian. Josh tahu siapa Erin karena Josh sering menginap dan berlibur bersama keluarga Chase. Josh sempat dua kali menghabiskan liburan Tahun Baru bersama Erin dan bahkan datang ke pemakaman kakak Erin. Hanya karena Erin dan ayahnya bukan orang kota, mereka hanya datang ketika diundang. Tapi, di kamar Chase, foto ia dengan Erin banyak sekali, karena Chase senang pulang pervi berjumpa dan jalan-jalan dengan Erin di akhir minggu. Piper adalah salah satu teman yang patah hati karena Erin, bahkan Piper sempat berpura-pura jadi pacar Josh demi bisa bertemu dan mengenal siapa Erin. Chase benar-benar cocok dengan Erin. Untungnya, Josh bukan anak muda yang suka melirik wanita lain, dan ia setia pada Piper meski awalnya banyak pura-pura. Chase dan Josh sampai di depan halaman rumah Chase. Yola dan Paul sudah menunggu didepan rumah. Mereka berdua datang dan mengjampiri Chase. Josh tidak mengerti dan Paul berterima kasih Josh menemaninya pulang, "Kau mau makan malam bersama?" Josh hanya punya Kakek Bill, pemilik bar lokal, tentu Josh menerima undangan itu.

Josh masuk ke rumah Chase dan menunggu di ruang tamu. Yola mengantar Chase naik ke lantai dua. Paul mengajaknya bicara, "Apa yang terjadi di sekolah, Josh?" Dan Josh menjelaskan, "Chase menangis, Sir."
Reaksi Paul, seorang nerd, ia menganga.
Reaksi Josh melihat Paul menganga, ia menganggukkan kepala dan meyakini apa yang baru saja ia katakan. Josh pun bilang kalau ia merasa Chase bersikap aneh sejak dua minggu yang lalu dan ia menanyakan apakah sesuatu terjadi di dua minggu yang lalu. Paul pun mulai bergaya serius, namun pada akhirnya Josh langsung bertanya, "Apakah ini tentang ayahnya, Max? Chase waktu itu pernah bilang kalau ia ingin berjumpa dengan ayahnya di akhir minggu. Apa sesuatu terjadi diantara mereka berdua?" Paul bertanya mengapa ia bertanya seperti itu dan Josh menjawab karena ia mulai menangis sejak Josh membicarakan tentang Max. Semua orang tahu kalau Yola dan Chase adalah warga baru di New Orleans. Tidak banyak yang mengenal suami Yola sebelumnya, Max. Namun, sejak kejadian Chase menolong Paul di bar lokal milik Kakek Bill, semua berubah dan Chase seakan telah menjadi kawan semua orang. Chase selalu membicarakan ayahnya dan meski tak ada yang kenal Max namun semua orang bangga ketika Chase menceritakan ayahnya itu. Lalu, Yola turun dan bilang kalau Chase memilih beristirahat. Josh bilang tidak apa dan ia pun beranjak pulang, Yola segera pergi ke dapur dan membekali potongan 3 ayam bakar untuknya. Tapi sebelumnya, Paul membisiki sesuatu kepada Yola dan Yola pun mengerti. Josh pun diminta untuk mendengarkan Yola bicara, "Dua minggu kemarin, kami mendapat kabar Max meninggal. Hal itu benar membuat kami semua terpukul." Josh pun mengatakan kalau ia turut berdukacita. Josh pun pulang dan ia mengerti perasaan Chase. Josh sampai di bar lokal dan ia masuk dari pintu depan bar, sekitar tujuh orang pelanggan disana. Kakek Bill berada di belakang bar melayani pelayan. Josh datang menghampiri Kakek Bill dan ia menyerahkan tiga ayam bakar itu. Kakek Bill dengan gaya sangarnya senang dan menanyakan darimana makanan ini dan Josh bilang dari ibu Chase. Josh segera berjalan keluar dari bar dan menuju ruang belakang. Di ruangan belakang, melewati dapur, pintu belakang lalu Josh berada di halaman belakang bar. Rumah mereka itu seperti truk besar, yang bisa dibawa dalam perjalanan. Dan, Piper, Frans, dan Wilton disana. Mereka khawatir dengan Chase dan Josh pun memberitahukan kabar meninggalnya Max. mereka pun merencanakan untuk bersama-sama pergi kembali ke rumah Chase.

 Kakek Bill terlambat beberapa menit ketika ia pergi ke belakang dan menyadari Josh tidak ada, Kakek Bill pun segera ke dalam rumah truk dan mengambil kotak P3K. Kakek Bill masuk kembali ke bar dan terdapat kumpulan anak muda yang baru saja 3 jam perjalaman dari pesta pinggir pantai di Alabama dan berakhir salah satu temannya terluka parah di lengannya. Kakek Bill segera menuangkan alkohol dan betadine, menjahitnya, lalu membalutnya. Kakek Bill berkomentar, "Seseorang tiba-tiha menggigit mu?" Dan anak muda itu bilang ya. Mereka ada 4 orang, dua laki-laki, dua perempuan. Mereka semua juga kena gigit dan Kakek Bill  membantu mengobati, tapi tak ada yang separah gigitan satu anak muda itu karena lengannya seperti ada bagian otot yang terkoyak. "Apa yang terjadi di pantai?" Mereka bilang ada kapal feri kecil tiba-tiba terdampar. Saat salah satu dari orang berpesta itu membuka siapa yang berada di kapal, banyak orang keluar dari kapal itu lalu mereka semua mulai menyerang orang-orang di pantai. Mereka berempat sempat saling berpisah tapi mereka saling menemukan satu sama lain dengan luka-luka yang mereka kenai. Mereka melihat pihak militer seperti datang menyelamatkan pantai, tapi mereka melihat dengan mata mereka sendiri, pihak militer mulai menembaki semua orang di pantai.

Josh dan kawan-kawan menemani Chase. Chase merasa senang dan mereka sleep over.
Salah satu dari mereka mati besok paginya dan menggigit satunya lagi, dua orang itu lari. Yang tergigit bersembunyi namun tak lama kemudian mati dan mulai berjalan keluar. Disana ada Kakek Bill.
Yola dan Paul melihat mereka semua dikamar, membangunkan mereka seperti biasa dan akhirnya mereka berangkat bersama. Josh mau pulang tapi tidak jadi. Lalu, mereka di sekolah. Paul dan Yola melihat mereka pergi terasa senang karena Chase bisa kembali normal. Sesampai di sekolah, Miss Angel melihat Chase sudah kembali riang, mereka berbincang dan akhirnya Miss Angel bilang sesuatu yang buat Chase serasa so sweet. Dalam satu hari semua berubah dan begitu bahagia.

Piper memandang keluar ruangan kelas kepada jalanan di luar sekolah. Piper berada di lantai dua, pelajaran menggambar. Piper termasuk dalam kelas anak luar biasa atau keterbelakangan. Piper mengalami disleksia dan ia sulit mengerti bahwa ia berusaha mempelajari semua mata pelajaran. Hanya saja, semua guru tidak dapat memberikan nilai kepada Piper tanpa dengan ujian lisan. Piper paling nyaman dengan kelas menggambar. Ia menggambar ketiga teman terbaiknya saat ini. Lalu tiba-tiba terdengar suara kecelakaan mobil di jalan raya.

Josh sedang olahraga dengan Chase. Mereka yang paling dekat dengan gerbang sekolah. Semua anak yang berada di lapangan segera berlari ke pagar sekolah. Josh juga ingin berlari namun Chase menahan Josh. Pandangannya menjadi kabur dan kembali ke Pulau Beracun. Salah satu anak yang berlari ke pagar adalah Wilton. Wilton mencoba mencari jalan hingga dapat memegang besi pagar. Ketika ia sampai di depan pagar sekolah ia melihat beberapa orang yang keluar dari mobil mulai menyerang orang-orang. Mereka menggigit dan menerkam. Wilton melihat dan berteriak, "HEY! STOP! STOP!" Dan beberapa anak lainnya ikut teriak. Teriakan mereka mengambil perhatian orang-orang itu. Kemudian mereka segera berjalan ke arah gerbang sekolah. Salah satu anak tertangkap tangannya dan ia digigit. Temannya berusaha menolongnya dan akhirnya mereka berhasil terlepas. Tiba-tiba dari depannya, ada yang juga hendak menerkam Wilton, namun Wilon segera mengelak dan berjalan mundur dari gerbang sekolah. Wilton memandang dengan jelas sesosok orang yang akan menerkamnya. Matanya memerah dan lehernya berdarah. Wilton melihat gigitan itu dan ia tersadar anak yang terkena gigitan itu. Wilton segera memandang ke lantai dua, seperti yang ia kira, Piper berada di jendela dan memandang keluar, termasuk dengan anak-anak lainnya. Wilton segera berlari ke dalam.

Chase melihat Wilton yang berlari dan Wilton juga melihat Chase dan ia berteriak, "It's the bit!" Josh hanya bingung  lalu ia mendengar kembali anak-anak di dekat pagar sekolah mulai berteriak. Chase segera menarik Josh untuk ikut berlari masuk ke dalam sekolah. Wilton mengajak Josh untuk menemukan Piper. Chase hendak ikut namun ia tersadar semua orang berlari ke dalam sekolah. Chase teringat kembali masa dia di Pulau Beracun. "Close the door!" Teriak Chase. Semua anak-anak di dalam kelas segera keluar. Chase segera berlari ke pintu depan sekolah, semua berlari ke dalam sekolah dan ia segera menutupnya.

Wilton segera masuk ke kelas kesenian dan mendapatkan Piper.
"Ada apa, Wilton?" tanya Piper, tepat di belakang Wilton terdapat Josh. Mereka berdua saling berpandangan, "Josh?"
"Aku kurang tahu, juga." Josh segera mencari perhatian Wilton, "Ada apa, Wilton?"
"Piper can not see things downthere. She has a weak heart. She's too weak."
"I know, I know, I know. I am her boyfriend."
"I am her brother!" Wilton memandang sahabatnya dengan tajam, "She can not see any of those thing." Wilton memiliki mata yang sama dengan Piper. Josh hanya terdiam. "Piper, pack your things. We're going back home." Piper mengikuti apa perkataan abangnya.
Lalu seorang anak berteriak kembali dengan apa yang terjadi di luar pagar sekolah. Josh pun segera mendatangi kerumunan anak yang berteriak, Mereka menunjuk. Josh melihat dengan matanya sendiri orang-orang digigit dan banyak darah bertumpahan. Josh memandang Wilton, "Apa yang terjadi?"
"Don't let Piper see a thing." ucap Wilton kembali.

Frank keluar dari kelasnya dan bersama yang lain mendapatkan Chase berada di depan pintu masuk gedung sekolah. Chase berteriak dan menanyakan siapa diantara mereka yang tergigit. Miss Angeline juga memandang. dari kejauhan. "Siapa yang tergigit?" teriak Chase.
"We need help!" teriak yang lain. Para guru dan Kepala Sekolah segera mendatangi kerumunan anak yang tergigit lalu membawa mereka ke UKS.
"Stop! They're all infected! They're all infected!" teriak Chase. Frank mendatangi Chase dan menahannya. Miss Angeline tidak mengerti apa yang terjadi namun ia diminta untuk ikut menolong anak-anak yang tergigit. Chase memandang kepergian Miss Angeline seperti Miss Angeline akan mengalami hal yang sama dengan Erin.
Frank berusaha menenangkan Chase bersamaan dengan Josh tiba di bawah dan mendatangi mereka berdua.
"Frank, kita harus pergi dari sini. Kita akan membawa salah satu mobil guru."
"Apa?"
"Wilton meminta kita untuk segera ke parkiran lewat pintu exit janitor."
"Bagaimana dengan yang lain?"
"Aku juga tidak tahu, Wilton menyuruh ku begitu." Josh memandang Chase, "Chase, kita harus pergi."
Chase segera berlari menuju UKS, "CHASE!" Teriak Frank dan Josh. Chase melewati kerumunan anak-anak yang panik dan berlari kesana kemari. Chase menuju lorong UKS. Chase berlari dengan cepat dan segera mendobrak pintu UKS, "Miss Angeline!" teriak Chase.
Miss Angeline sedang menangangi salah satu anak yang tergigit di kakinya.
"Chase." Miss Angeline segera menghampirinya, "Kau jangan kemari."
"Mereka semua terjangkit, Miss Angeline."
"Chase ini bukan saatnya membicarakan hal itu."
"Tapi ini benar, Miss Angeline. Wabah itu. Ini adalah wabah itu!"
Miss Angeline memandang sekitarnya.
"You have to believe in me," ucap Chase, "Kita harus pergi dari sini, Miss Angeline."
Chase memegang tangannya dan segera menarik keluar ruangan.
"Miss Angeline, wee need your help." teriak guru-guru yang lain. Miss Angeline menahan tangan Chase.
"Chase," ucap Miss Angeline, "I can't go with you."
"No, no, no!" teriak Chase. Lalu tiba-tiba datang seorang guru lelaki yang memaksa Chase melepaskan tangan Miss Angeline dan mendorong Chase keluar ruangan kemudian menutup pintu ruangan UKS. Miss Angeline hanya memandang Chase dari luar lalu meninggalkan Chase.

Chase tidak mengerti. Lalu, Frank berteriak, "We must go! We must go, Chase!"


Comments

Popular posts from this blog

People thinking : Gay

Kelly's Night

The Man with The Star